SEMARANG, JejakLensa.com — Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Gunretno, mendatangi kantor Ditreskrimsus Polda Jawa Tengah pada Kamis (4/12/2025) untuk memberikan klarifikasi terkait laporan pemilik tambang, Didik Setyo Utomo, dari wilayah Gadudero, Kecamatan Sukolilo, Pati.
Namun alih-alih hanya menjawab panggilan, Gunretno justru membeberkan rangkaian dugaan kejanggalan tata kelola pertambangan di kawasan Kendeng.
“Aku diundang atas dasar laporan Didik Setyo Utomo. Tapi di sini biar Pak Polisi tahu, ternyata ada satu izin, tapi di lapangan ada dua titik tambang,” ujar Gunretno di depan awak media.
Menurutnya, sejak awal ia hanya ingin mengetahui siapa pemilik dan pengelola tambang tersebut. Apalagi, saat sidak bersama Komisi C DPRD, Kapolsek, dan sejumlah dinas, ditemukan dump truk bermuatan berlebih serta aktivitas penambangan yang dinilai janggal.
“Dasar itu aku dianggap menghalang-halangi. Padahal aku hanya bertanya siapa yang bertanggung jawab. Jawabannya tidak ada,” katanya.
Gunretno menegaskan, sikap kritisnya terhadap pertambangan bukan hal baru. Baginya, tambang di mana pun berpotensi menimbulkan bencana ekologis dan merugikan petani.
“Aku ini sedulur sikep. Hidup kami bergantung pada pertanian. Dan beberapa tahun ini tidak ada panen karena penggundulan hutan dan penambangan. Kerugian ini ayo dihitung, siapa sebenarnya yang menghalang-halangi kesejahteraan rakyat?” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Sukolilo telah ditetapkan sejak tahun 2000 oleh KLHK sebagai wilayah yang tidak boleh ditambang.
Bahkan, melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kendeng yang dipresentasikan langsung di hadapan Presiden, rekomendasinya tegas: tidak boleh ada izin baru maupun perpanjangan izin tambang di wilayah Pegunungan Kendeng.

“Didik Setyo Utomo mengajukan perpanjangan izin tahun 2023. Lha, ESDM kok masih keluarkan izin di wilayah yang jelas-jelas dilarang KLHS? Ini yang harus diperiksa,” ujarnya.
Gunretno meminta polisi tidak hanya memeriksa dirinya, tetapi juga memeriksa ESDM dan KLHK yang dinilai lalai mengawasi perizinan dan analisis dampak lingkungan.
Gunretno menyebut kesulitan mengakses dokumen perizinan tambang, meski menurutnya itu merupakan dokumen publik.
“Aku minta dokumennya difoto, tapi belum boleh. Di ESDM juga sudah minta, tapi kok dipersulit? Pemerintah harus terbuka, jangan ditutupi,” tegasnya.
Ia juga mengungkap temuan di lapangan: tidak ada papan nama perusahaan, tidak jelas luas tambang, dan para pekerja bukan warga sekitar.
“Ketika kami turun, orang-orang di lokasi juga tidak kenal siapa pemiliknya. Ini kok aneh,” tambahnya.
Meski dipanggil polisi, Gunretno menegaskan sikapnya tidak berubah.
“Negara ini negara hukum. Menyuarakan penolakan itu hak. Aku tetap akan menolak tambang. Tambang itu hanya menghidupi segelintir orang; gunung satu dikasih, minta gunung lainnya,” katanya disambut teriakan dukungan warga: “Yeay!”
Ia menutup pernyataan dengan pesan kepada pemerintah:
“Caranya bagaimana supaya gunung tidak rusak? Semua bisa adil dan sejahtera? Itu yang harus dilakukan. Bukan mempersulit rakyat yang hanya ingin tahu kebenaran.”
Didampingi istri dan anaknya, Gunretno mengaku siap menghadapi proses pemeriksaan lebih lanjut.
“Rasaku ini tidak akan berhenti. Justru karena masalah ini, kita harus terus menyuarakan agar tambang di Kendeng dihentikan,” pungkasnya.
(Red.)










